Rabu, 26 September 2018

TERAPI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

TERAPI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DENGAN 
SENSORI INTEGRASI

Di Indonesia berdasarkan data tahun 2011 (Susenas Triwulan 1 Maret 2011), jumlah anak berkebutuhan khusus dalam kategori penyandang disabilitas adalah 9.957.600 dari total 82.980.000 populasi anak Indonesia (12%). Sedangkan jumlah anak dengan kecerdasan istimewa dan berbakat istimewa adalah sebesar 2.2% dari populasi anak usia sekolah (4-18 tahun).

Di Indonesia dengan populasi terbesar keempat di dunia, jumlah anak berkebutuhan khusus ternyata cukup banyak. Tingginya angka riil anak berkebutuhan khusus ini menjadi tugas bagi seluruh tenaga kesehatan, untuk bisa melakukan upaya-upaya penanganan sebagai salah satu langkah untuk memenuhi kebutuhan dasar anak untuk hidup, hak tumbuh dan berkembang secara optimal, dan bisa berbaur dan diterima oleh masyarakat tanpa stigma, bebas dari tindakan kekerasan, diskriminasi, penelantaran dan mempunyai akses pekerjaan kelak dikemudian hari perencanaan yang baik

Apa itu SENSORI INTEGRASI?

Pada tahun 1972 ahli Terapi Okupasi dari Amerika Serikat A. Jean Ayres mengenalkan suatu model perkembangan manusia yang dikenal dengan teori Sensori Integrasi. Sensori Integrasi merupakan Proses menerima, mengubah dan membedakan sensasi untuk menghasikan suatu perilaku yang adaptif.Perilaku adaptif yang dihasilkan kemudian berkembang menjadi keterampilan yang lebih kompleks seperti bahasa, pengendalian emosi dan berhitung. Dalam siklus Sensori Integrasi, adanya gangguan pada keterampilan dasar akan menimbulkan kesulitan dalam menguasai keterampilan yang lebih tinggi. Sebagai gambaran proses Sensori Integrasi dapat diuraikan sebagai berikut: Setiap detik otak menerima jutaan input sensori melalui reseptor. Input sensori yang diterima dapat berupa tekanan, suhu, getaran, gerak, rasa dan lainnya. Otak kemudian akan mengolah dan mengartikan input sensori tersebut sebagi informasi. Informasi inilah yang nantinya akan digunakan sebagai dasar dalam memberikan respon. Setelah itu, otak melakukan evaluasi apakah respon tersebut telah sesuai dengan input sensori yang diberikan. Pada tahap ini tubuh mengalami proses ‘belajar’ sedangkan otak mengembangkan kemampuan dari pengalaman-pengalaman yang dirasakan.

Input sensori dari lingkungan diterima oleh indera yang ada diseluruh tubuh. Indera tersebut meliputi pendengaran (Auditory), penglihatan (Visual), pengecapan (Gustatory), penciuman (Olfactory), perabaan (Tactile), sistem keseimbangan (Vestibular), serta otot-otot dan sendi (Proprioceptive). Terapi Sensori Integrasi menitikberatkan stimulasi pada tiga indera utama yaitu Tactile, Vestibular dan Proprioceptive, namun tidak melupakan juga stimulasi pada indera yang lainnya.

Apa itu Disfungsi SI?

Disfungsi SI menunjukkan ketidakmampuan tubuh untuk menangkap dan menggunakan informasi yang diterima oleh panca indera secara benar. Anak dengan disfungsi SI mempunyai kesulitan mengolah infomasi yang diterima panca inderanya untuk melaksanakan tugas sehari-hari, misalnya memakai baju, makan, atau bermain. Mereka juga mungkin bisa mengalami kesulitan dalam beberapa aktivitas dan situasi sosial.

Misalnya, mereka mungkin tidak menyukai melukis dengan jari karena mereka tidak suka tangannya basah atau lengket. Atau mereka merasa tidak nyaman di tengah keramaian karena bising dan jumlah orang yang banyak. Disfungsi SI bisa muncul dengan berbagai kombinasi dari indera-indera, yaitu: penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecapan, peraba, atau pergerakan. Pada saat tertentu dalam hidup, kebanyakan orang punya kesulitan mengolah informasi indera, tetapi jika hal ini mengganggu kemampuan kita dalam hidup sehari-hari, tentu saja bisa jadi masalah.

Ciri-ciri umum Disfungsi SI meliputi :

1. Terlalu responsif atau terlalu tidak responsif terhadap rangsangan indera (misalnya, tidak bisa mentolerir adanya tag (lembaran tanda merk) pada baju, atau mempunyai ambang batas rasa sakit yang tidak biasa)

2. Tingkat aktivitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah (lebih dari biasa)

3. Bergerak terus-menerus atau terlalu cepat merasa capek

4. Kesulitan dengan gerakan otot yang memerlukan ketelitian (menggunting dengan gunting) dan/atau gerakan otot yang memerlukan rencana (melempar bola)

5. Masalah mengendalikan diri (misalnya kesulitan menenangkan diri setelah melakukan suatu aktivitas)

6. Kesulitan mengubah aktivitas-aktivitas

7. Koordinasi mata-tangan kurang

Gangguan yang sering diikuti dengan gangguan sensori integrasi

1. ADHD (Attention Deficit & Hyperactivity Disorder)

2. DAMP (Deficits in Attention, Motor and Perception)

3. Pervasive Developmental Disorders ( Autism, Asperger, MSDD-Multi System Development Disorder)

4. Developmental Language Delays : reseptif, ekspresif, campuran

5. Regulatory disorders (Zero to Three)

6. Gangguan belajar spesifik

Ketika seorang okupasi terapis menggunakan Sensori Integrasi sebagai kerangka acuan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam mentolerir dan mengintegrasikan input sensori, Okupasi Terapis yang lain mungkin terfokus pada akomodasi lingkungan sehingga orang tua dan sekolah dapat berperan serta untuk meningkatkan fungsi anak di rumah, sekolah, dan di masyarakat. 

Hasil akhir pada anak berkebutuhan khusus dengan diberikan tindakan Sensori Integrasi antara lain: daya konsentrasi anak semakin baik, perilaku anak lebih terarah, anak menjadi lebih percaya diri, pengaturan diri dalam melaksanakan sebuah aktivitas semakin baik, anak mampu mengontrol emosinya, mampu berfikir abstrak atau berimajinasi, kemampuan akademik anak menjadi lebih baik.

Sensori Integrasi merupakan tonggak utama dalam perkembangan anak. Setiap aktivitas yang dilakukannya pasti melibatkan siklus Sensori Integrasi. Untuk itu sangat penting untuk menstimulus indera-indera anak agar ia merasakan pengalaman-pengalaman yang membantunya menghasilkan respon yang adaptif. Ingatlah keberhasilan dalam mengolah input sensori menentukan pencapaiannya dalam proses belajar.

Senin, 24 September 2018

PENANGANAN KOMPERHENSIF PADA KASUS 
GANGGUAN PENDENGARAN

Oleh: Cecep Agas Triono, AMd. OT
Bagian Okupasi Terapi Instalasi Rehabilitasi Medik 
Rumah Sakit Pusat Pertamina

Dalam tahun pertama kehidupan, pendengaran adalah bagian penting dari perkembangan sosial, emosional, dan kognitif anak-anak. Bahkan kehilangan pendengaran ringan atau berat dapat mempengaruhi kemampuan seorang anak untuk berbicara dan memahami bahasa. Dengan gangguan pendengaran seorang anak dapat mengalami keterlambatan bicara sehingga sangat memerlukan terapi pada anak untuk mengembangkan kemampuan bicaranya.

Gangguan pendengaran merupakan masalah yang banyak terjadi di seluruh dunia. Dari data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2012 ditemukan 5,3% populasi di dunia mengalami gangguan pendengaran. Berdasarkan data tahun 2017, sebanyak 9,6 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan pendengaran. Hal ini cukup mengkhawatirkan, pasalnya masalah ini justru banyak terjadi pada bayi yang baru lahir. Disebutkan bahwa 1 dari 1000 kelahiran bayi di Indonesia mengalami gangguan pendengaran. 

Kebanyakan bayi yang lahir dengan gangguan pendengaran memiliki orang tua yang normal pendengarannya. Artinya, banyak orang tua yang belum mengetahui bagaimana cara menangani gangguan pendengaran tersebut. Bayi yang terlahir dengan gangguan pendengaran juga akan mengalami gangguan pada proses tumbuh kembangnya. Hal ini menyulitkan sang anak untuk beradaptasi, bahkan untuk mendapatkan kemampuan berbicara karena ia tidak dapat mengenali bahasanya sendiri.

Pemeriksaan dini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah anak yang baru lahir memiliki masalah pendengaran atau tidak. Hal ini bisa dicurigai ketika sang bayi mulai tumbuh dan ia terbiasa menarik-narik telinganya. Bahkan saat Anda mencoba memberinya stimulasi suara, ia tidak bisa meresponsnya sampai ia melihat Anda. Jika hal ini terjadi, segera periksakan anak Anda ke dokter THT. Setelah dilakukan pemeriksaan dan diketahui tingkat keparahan gangguan pendengaran, biasanya sang anak disarankan untuk menggunakan alat bantu dengar.

Sayangnya, masalah tersebut tidak berhenti sampai disitu saja. Seperti yang tadi disebutkan, anak yang memiliki gangguan pedengaran juga akan mengalami hambatan pada kemampuan berbicaranya. Perlu juga dilakukan terapi pada untuk anak yang mengalami gangguan pendengaran sejak lahir. Pada pasien gangguan dengar dari lahir, terapi idealnya dilaksanakan terus-menerus hingga dewasa. Hal ini dikarenakan permasalahan tidak saja terletak pada masalah bicara dan pengucapan tetapi juga pada pemahaman dan tata bahasa.

Untuk menanggulangi masalah gangguan bicara akibat masalah pendengaran ini membutuhkan banyak tenaga terapis yang bisa membantu anak tumbuh dengan kemampuan bicara seperti anak pada umumnya. Beberapa jenis terapi untuk penanganan anak dengan gangguan pendengaran:

1. Alat bantu dengar 
Alat bantu dengar adalah pengobatan nonmedis utama untuk gangguan pendengaran sensorineural. Jenis yang paling umum dari gangguan pendengaran melibatkan disfungsi sel rambut luar, alat bantu dengar memungkinkan amplifikasi suara untuk mengatasi masalah ini. Komponen dasar Sebuah alat bantu dengar adalah mikrofon, amplifier, dan penerima.


2. Terapi wicara

Terapi wicara membantu anak dengan gangguan pendengaran pada area bicara untuk membenahi pengucapan/artikulasi, bahasa, tata bahasa, kelancaran bicara dan irama bicara. Terapi wicara akan memberikan program untuk membantu anak dengan gangguan pendengaran agar berkembang sesuai dengan usia perkembangan bahasa dan bicaranya.


3. Sensori integrasi


Sensori Integrasi membantu membenahi sistem sensori pada area auditory, dimana pada kasus gangguan pendengaran terjadi terhambatnya proses suara menuju otak, begitu juga terganggunya sistem vestibular yang mana letak resptornya berada di telinga bagian tengah. Sehingga akan menghambat perkembangan normal dan perilakunya. Terapi sensori Integrasi dapat membantu anak dengan gangguan pendengaran agar perkembangan dan perilakunya sesuai dengan usianya.





4. Okupasi terapi
Anak dengan gangguan pendengaran disamping terhambat akan komunikasi bahasa dan bicaranya, akan terhambat juga pada area fungsionalnya. Dimana Okupasi terapi membenahi area fungsional anak dengan gangguan pendengaran. Area fungsional seorang anak meliputi : kemampuan dalam melakukan aktivitas keseharian, pemanfaatan waktu luang, sosialisasi dengan lingkungan dan termasuk ke area Akademik.


Dengan penanganan yang benar dan tepat serta komprehensif, maka anak dengan gangguan pendengaran dapat menjalani kehidupan seperti anak pada umumnya. Serta tingkat kualitas kesehatan yang lebih baik. Rumah sakit Pusat Pertamina melayani kasus pasien dengan gangguan pendengaran dengan adanya fasilitas layanan terapi yang komprehensif.